- Target: Presiden Republik Indonesia
- Sponsored by: Walhi Sulteng, Walhi Sultra, Walhi Sulsel, Walhi Bali, Walhi NTB, Walhi NTT, Kiara, Jatam Sulteng, Yayasan Bonebula,YPR, Walhi Malut, YTM, YMP, Evergreen, Jatam Sultra, Yayasan Bonebula, Yayasan Merah putih, Walhi Sulut, SNTP, LPS-HAM, PBHR Sulteng, SPH
Petisi Bersama
(Deklarasi Gerakan Rakyat Anti Reklamasi Pesisir Pantai Indonesia)Hentikan Perampasan Ruang Kelola Rakyat: “Tolak Reklamasi untuk kesejahteraan Nelayanâ€
Dalam 10 tahun terakhir, sebagian besar kota-kota pesisir di Indonesia tengah menghadapi ancaman serius. Bencana tenggelamnya kota-kota pesisir akibat beban pembangunan yang abai terhadap keseimbangan alam dan dampak perubahan iklim semakin sering terjadi. Anehnya, di tengah situasi seperti ini, pemerintah justru mengembangkan proyek rekalamasi pantai atau kerap disebut water front city guna memanjakan dan mengakomodasi kepentingan kelompok pemodal—untuk menyingkirkan kelompok rentan nelayan dari wilayah mukim dan hidupnya.
Kegiatan reklamasi pantai tidak saja terjadi di kepulauan Jawa seperti Jakarta, Semarang dan Pantai Kenjeran Surabaya, tapi juga telah meluas hingga ke wilayah di luar Pulau Jawa. Di Pulau Sumatera, proyek berlangsung di Padang Sumatera Utara atau disebut Padang Bay City, dan Teluk Lampung.
Dibagian tengah dan timur Indonesia telah terjadi kegiatan reklamasi di Teluk Balikpapan Kalimantan Timur; Pantai Losari dan Pantai Buloa di Sulawesi Selatan; Pantai Kalasey dan Teluk Manado di Sulawesi Utara; Teluk Tolo dan Palu, Reef TIAKA dan Bahodopi hingga Jalan lingkar Kota Toli-Toli dan Palu-Donggala di Sulawesi Tengah; Teluk Kendari, Teluk Baubau, dan Menui Kepulauan Sulawesi Tenggara; dan, kawasan pantai Manakara Sulawesi Barat.
Demikian halnya di Pulau Serangan dan Pantai Mertasari, Bali; Pulau Ternate dan Tidore, Maluku Utara; pelabuhan tambang PT NNT Tanjung Luar NTB; Teluk Kupang NTT. Dan yang sedang direncanakan di Teluk Kendari, penimbunan sempadan pantai untuk kebutuhan pelabuhan pertambangan, rencana reklamasi pantai Ampenan dan pembangunan Mandalika Resort di Nusa Tenggara Barat.
Proyek-proyek reklamasi ini menjadi bagian dari konsolidasi kapital dalam penguasaaan aset-aset penghidupan rakyat, termasuk untuk pembiayaan kegiNo table of figures entries found.atan partai politik tertentu. Dalam pelaksanaanya, diketahui terjadi kolusi, korupsi dan nepotisme dana-dana proyek reklamasi yang diambil dari APBN, APBD, sektor swasta dan utang luar negeri. Pelanggaran dalam tata ruang wilyah dan tukar guling sumber daya Alam juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam meloloskan proyek reklamasi bagi kepentingan pemodal dan politisi kotor.
Proyek reklamasi ini didukung oleh paket instrumen kebijakan perampasan lahan wilayah pesisir, yakni: UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing; UU No. 26 tahun 2007 Tentang Tata Ruang; UU No. 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Deperluas melalui upaya pencabutan UU No.5 tahun 1960 tentang Pembaruan Agraria yang tegas menjamin hak demokratis rakyat atas sumber-sumber agraria dengan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan—yang berpihak pada kepentingan pengusaha dan pejabat birokrasi.
Secara faktual kegiatan reklamasi pantai telah mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang-surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air. Potensi banjir akibat proyek reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut (rob) dan ancaman dampak perubahan iklim. Demikian halnya berdampak luas terhadap wilayah atau kawasan yang menjadi sumber asal material reklamasi (baca: material urugan), seperti longsor, banjir, dan rusaknya sumber daya air.
Dampak sosial ekonomi yang paling terasa adalah intimidasi dan pengusiran terhadap nelayan di seluruh wilayah yang terkena proyek reklamasi. Alih-alih para keluarga nelayan mendapatkan perlindungan negara untuk mampu melakukan adaptasi dan mitigasi iklim maupun ancaman bencana pesisir lainnya. Justru sebaliknya, nelayan tradisional tergusur dari sumber-sumber kehidupan dan hilangnya akses nelayan melaut—berujung pada meningkatnya kantong-kantong kemiskinan di kawasan kota-kota pesisir.
Salah satu contoh aktual di Sulawesi Tengah, praktek reklamasi yang dimulai sejak tahun 2002 telah menggusur lebih dari 50 KK per hektarnya. Data WALHI Sulteng dan YPR Palu mencatat ada lebih dari 10 titik lokasi yang telah direklamasi dan tersebar di wilayah pesisir kabupaten dan kota. Sedangkan di Jakarta, kegiatan Reklamasi pantai Utara Jakarta seluas 2.700 ha—menelan biaya sebesar Rp. 3.499 triliyun atau US$ 350 Billion. Sedang, nilai ekonomis yang dihasilkan jauh lebih rendah dan tidak memberi manfaat, yakni hanya sebesar Rp. 572 triliyun atau US$ 57 Billion (Herdianto WK, 2005).
Pemerintah saat ini tidak mempunyai kepedulian akan masa depan lingkungan pesisir dan kehidupan masyarakat yang tinggal dikawasan tersebut. Sikap pembiaraan pemerintah terhadap pelaku kejahatan lingkungan di perairan pesisir makin sering terjadi. Pencemaran limbah di pesisir kota terus terjadi secara masif dan tidak pernah ditanggunglangi secara secara serius. Dalam catatan KIARA, Sedikitnya 23.281.799 ha perairan di Indonesia terpapar limbah yang memicu matinya biota laut dan hilangnya ikan. Hal ini diperparah dengan kerusakan hutan mangrove yang terjadi hampir di semua pesisir dan berdampak pada sulitnya nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap yang maksimal.
Salah kaprahnya pengelolaan pesisir terutama kegiatan reklamasi tidak lepas dari bobrok dan sikap ambiguitas kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat rentan pesisir. Padahal jelas dalam putusan perkara Judicial Reveuw Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terkhusus pasal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), Mahkamah Konstitusi menetapkan pengkavlingan, privatisasi dan komersialisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah bertentangan dengan Konstitusi.
Apalagi Mahkamah Konstitus menegaskan adanya 4 hak konstitusional masyarakat nelayan tradisional dan adat, yang tidak boleh dirampas atau ditukargulingkan. Yaitu, hak untuk melintas; hak untuk mengelola sumber daya dan kaidah budayanya; hak memanfaatkan sumber daya; dan, hak mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih. Secara otomatis, kegiatan pengusahaan pesisir laut oleh individu mau lembaga swasta dalam bentuk apapun merupakan perbuatan melawan hukum, dan merupakan kejahatan serius.
Atas kondisi tersebut kami menyatakan sikap:
- Menolak privatisasi dan monopoli ruang-ruang publik
- Menolak seluruh skema pembiayaan reklamasi baik dari swasta, APBD, APBN dan dana utang
- Meminta kepada Pemerintah untuk segera mencabut seluruh peraturan pusat maupun daerah yang memiliki semangat privatisasi dan komersialisasi ruang pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk yang memuat pasal-pasal terkait HP3.
- Menuntut pemerintah untuk menghentikan segala proses pembuatan kebijakan yang mengarah pada upaya pengusahaan perairan pesisir termasuk upaya pengkaplingan dalam bentuk reklamasi pantai pesisir, termasuk Rencana Peraturan Presiden tentang reklamasi.
- Menuntut pemerintah untuk segera melakukan penegakan hukum terhadap pelaku pencemar dan perusak ekosistem pesisir laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Pemerintah wajib memulihkan hak-hak konstitusional warga nelayan: hak untuk melintas (akses); hak untuk mengelola sumber daya sesuai dengan kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini dan dijalankan secara turun-temurun; hak untuk memanfaatkan sumber daya; termasuk, menjamin agar tidak ada lagi penggelontoran material pencemar ke laut.
Sumber : http://www.thepetitionsite.com/1/tolak-reklamasi-untuk-kesejahteraan-nelayan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar