yprsulteng.com

Sabtu, 21 Mei 2011

Penolakan masyarakat dan NGO Lokal Terhadap rencana Penambangan Emas di Tahura Poboya Paneki

Rencana perusahaan tambang PT. CPM (Citra Palu Minerals) menginvasi Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya, menghadapi tentangan keras dari masyarakat dan ornop lokal. Terakhir ini, empat ornop dan dua lembaga adat lokal mengeluarkan edaran Lembar Fakta, yang berisi informasi lengkap soal ketidaksetujuan mereka terhadap rencana konversi lahan di Tahura Poboya. Keempat ornop itu masing-masingnya: SPRA (Solidaritas Pembaruan Reformasi Agraria), YMP (Yayasan Merah Putih), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng, dan Yayasan Tanah Merdeka (YTM). Mereka adalah organisasi non pemerintah yang berbasis di Kota Palu. Sementara dua lembaga adat adalah Masyarakat Adat Poboya dan Masyarakat Vattutela.

Lembaran itu, dalam salah satu isinya, menegaskan sikap mereka yaitu menolak tambang emas di kawasan Tahura Poboya Paneki. Mereka juga mendesak agar pemerintah tidak mengijinkan pertambangan emas di kawasan Tahura Poboya Paneki dan sekitarnya. Selain itu, meminta agar pemerintah bersikap lebih bijaksana, partisipatif dan tidak melanggar hukum dalam melakukan implementasi otonomi daerah.

Unjuk sikap itu tak cuma ditujukan pada pemerintah. Buktinya, kalangan DPR dan DPRD pun diseru agar mampu menjalankan fungsinya sebagai wakli rakyat sehingga tidakm menjadi legitimasi pemerintah dalam menjalankan kebijakan di tingkat pusat dan daerah. Sementara masyarakat umum, menurut edaran itu, disarankan untuk kritis dan proaktif menyikapi segala bentuk implementasi kebijakan di daerahnya.

TAK TRANSPARAN

Polemik seputar rencana penambangan emas di Tahura Poboya terpicu oleh sikap PT. CPM yang tidak transparan dan melakukan aktivitas eksplorasi tanpa pemberitahuan kepada publik luas. Bahkan, menurut aktivis ornop Palu, PT. CPM menyampaikan rencana kegiatan tambang mereka secara terbuka justru setelah mereka melakukan eksplorasi selama tiga tahun, yaitu sejak tahun 1997.

Bahkan saat presentasi berlangsung tahun lalu (21 Juni 2000, di Golden Palu Hotel), PT. CPM tidak secara jelas menunjukkan peta wilayah penambangan mereka. Perusahaan tambang yang menginduk pada Grup Rio Tinto itu juga mengusulkan penggeseran tapal batas di hutan Poboya. Tentu, hal itu menimbulkan reaksi keras. Tak urung, sejumlah undangan yang hadir dalam pertemuan itu menyatakan penolakannya.

MENHUT BANTAH

Rupanya, kontroversi itu berlanjut hingga kini. Pengamat ilmu lingkungan dari Universitas Tadulako (Untad), Palu, Natsir Abbas menyatakan Tahura Poboya Sulteng tak bisa dialihfungsikan untuk lain keperluan. Kecuali untuk pelestarian plasma nutfah. "Berarti," jelas Abbas, "Tahura Poboya tak bisa digeser untuk kepentingan apapun, termasuk kegiatan penambangan emas yang kontrak karyanya kini telah diberikan pemerintah pusat kepada PT. CPM."

Dosen ilmu lingkungan di Untad Palu itu punya dasar argumentasi cukup kuat. Ia bersandar pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan, serta pengakuan secara adat oleh masyarakat sekitar. Makanya, jika Pemda ngotot memihak PT. CPM, menurut Abbas, pemerintah menginjak perangkat hukum yang mereka buat sendiri. Termasuk, tambahnya, melanggar aturan adat yang berlaku.

Persoalan lain, perkara pemberian izin terhadap operasionalisasi PT. CPM akan menjadi bumerang bagi Pemda sendiri. Ke depan, bila kasus serupa selalu dimenangkan demi kepentingan investor, maka berbagai kepentingan bisnis akan memakai pola yang sama. Yaitu memakai tangan-tangan Pemda sembari mengangkangi perangkat hukum yang tersedia. Agar semua penyakit mengalah pada kepentingan investasi tak menjalar, menurut Abbas, Pemda harus berani mengambil sikap tegas. Dengan cara menghormati supremasi hukum demi kepentingan lingkungan. "Dalam hal ini," pintanya, "Pemda harus berani menindak tegas PT. CPM yang nyata-nyata melakukan eksplorasi di kawasan Tahura Poboya."

Dengan sejumlah alasan itu, Pemda mestinya siap menentukan posisinya tak lagi plin-plan seperti saat ini. Lebih-lebih, Menteri Kehutanan Marzuki Usman menyatakan tak pernah menyetujui rencana pemanfaatan kawasan Taman Hutan Rakyat di Poboya. Informasi ini sekaligus membantah keterangan Kepala Dinas Kehutanan Sulteng yang menyatakan Menhut menyetujui pemanfaatan Hutan Poboya sebagai tambang emas.

Saling klaim atas Tahura Poboya kini bergulir ke arah lain. Terutama soal rencana "pengusiran" terhadap masyarakat Vatutela dan Poboya, yang juga mendapatkan penentangan. Di sisi lain, tuntutan memproses PT. CPM secara hukum mendapat tanggapan luas. Wajar memang, sebab seperti dikatakan Kepala Divisi Advokasi Walhi Sulteng, PT. CPM telah melakukan eksplorasi di kawasan konservasi sebelum mereka mengantongi izin yang sah.

SUMBER: Lembar Fakta empat Ornop Palu, Mei 2001. Kompas (28 April 2001), Gatra.com, (22, Mei 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar