Selasa, 17 Mei 2011 11:01
FPIC dan Safeguard Harus Diterapkan
Muh. Taufan (deadlineinteraktif.com)
Palu, (Sulteng) - Implementasi program pengurangan pelepasan emisi karbon ke udara melalui pencegahan perubahan fungsi kawasan hutan dan penurunan kwalitas hutan, atau dalam istilah popularnya disebut Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) pada tahun 2012 nanti, harus diawali dengan prinsip persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi awal atau Free Prior and Informed Consent (FPIC) dengan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Hal ini dipaparkan langsung dalam konfrensi pers, Selasa (10/5) di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu Jalan Rajawali 28, oleh Muslimun selaku anggota pokja pantau Redd Sulteng, dan Koordinator pokja pantau Redd Sulteng Supardi Lasaming.
Menurut Lasaming, dalam pelaksanaanya program REDD juga harus mempunyai perangkat pengaman untuk memastikan tercapainya tujuan dan terjaminnya kelestarian dan hak-hak masyarakat atau biasa disebut Safeguard. “Jika kedua instrumen tersebut tidak bisa dipenuhi, maka patut dikhawatirkan kalau program tersebut bisa diimplementasikan dengan baik. Kalaupun pemrakarsa program ingin mengimplementasikan kedua instrument tersebut, pengakuan atas hak wilayah kelola masyarakat adat harus dipenuhi terlebih dahulu,” ujarnya.Hal ini juga masih sulit, sebab komitmen pemerintah untuk mengakui hak wilayah kelola tersebut masih minim. Ini terbukti dengan banyaknya pengusulan dari kelompok Non Governance Organization (NGO) atau lembaga swadaya masyarakat tentang Peraturan Daerah (Perda) masyarakat adat belum banyak disahuti oleh pemerintah.
Lasaming juga menjelaskan, pengusulan raperda masyarakat adat Tau Taa Wana, yang bermukin di wilayah Kabupaten Tojo Una-una, Banggai dan Morowali misalnya. Rancangan perda tersebut telah digarap bertahun-tahun hingga diusulkan. Sejak awal dalam pengusulannya, pembahasan Perda ini berjalan lancar. “Namun pada tahap persetujuan di tingkat DPRD Sulteng, belum bisa menentukan kesepakatan. Diduga, ketidakseriusan pemerintah itu terkait dengan akan adanya proyek pemerintah pusat dalam bentuk pembukaan Kota Terpadu Mandiri (KTM) yang kebetulan masuk di wilayah yang masuk dalam Perda Tau Taa Wana,” jelas koordinator pokja pantau Redd Sulteng itu.
Sementara itu Muslimun selaku anggota pokja pantau Redd Sulteng, juga menambahkan penetapan wilayah yang akan menjadi pilot project atau Demonstrative activities (DA) masih dalam perdebatan di tingkat pemangku kepentingan. Dalam konteks kehutanan, wilayah DA sebaiknya ditempatkan di wilayah-wilayah yang sudah memiliki pemangku, seperti taman nasional atau Kawasan Pemangkuan Hutan (KPH), sebab wilayah-wilayah tersebut telah mimiliki deliniasi (batas) yang jelas.
“Jika pendekatan itu yang akan digunakan dalam memilih DA, maka bisa jadi dikhawatirkan bahwa implementasi REDD+ akan mengabaikan hak-hak masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Ini dimungkinkan karena sejauh ini pemerintah tidak mengakui keberadaan hak-hak kelola masyarakat tersebut,” tambahnya, Sembari mengatakan, apapun dalih pemerintah atau pemrakarsa proyek nantinya, Kami koalisi LSM dan organisasi kemasyarakatan di Sulteng yang tergabung dalam Pokja Pantau REDD Sulteng tetap akan mendorong agar implementasi REDD harus mengacu pada dua instrument di atas, yakni FPIC dan Safeguard.
Sumber : http://deadlineinteraktif.com/index.php?option=com_content&view=article&id=93:terkait-implementasi-redd-2012&catid=34:kota-palu&Itemid=53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar